Rezim Kejam Khmer Merah Di Kamboja Menghabisi  – Kamboja ialah negara yang terletak di Asia Tenggara dengan bentuk monarki konstitusional. Negara yang berbatasan dengan Vietnam, Laos, dan Thailand ini pernah mengalami perubahan radikal pada saat era kekuasaan rezim komunis-maois di sekitaran tahun 1975-1979. Rezim yang dipimpin oleh Saloth Sar, atau yang lebih dikenali bernama Pol Pot ini tewaskan sampai 2 juta warga Kamboja karena lakukan pembantaian, kerja paksakan, sakit, dan kelaparan. Hal ini bahkan tercatat sebagai salah satu era paling kelam dan berdarah sepanjang sejarah Asia Tenggara.

Rezim komunis-maois yang menamakan diri sebagai Khmer Merah ini dibangun secara perlahan di sepanjang dekade tahun 1960-an di hutan-hutan sebelah timur kamboja. Pasukan ini didukung oleh tentara Vietnam Utara, Viet Cong (organisasi massa penentang agresi Amerika Serikat dan Vietnam Selatan), dan Pathet Lao (gerakan komunis di Laos).

Pada 17 April 1975, tepat hari ini 44 tahun silam, pasukan Khmer Merah sukses merampas ibukota Phnom Penh. Time http://www.inadesfo.org/ menulisnya sebagai perolehan yang tidak begitu mengagetkan. Sepanjang perang berjalan, tentara komunis-maois itu terus-terusan tingkatkan kemampuannya. Di lain sisi AS sudah mundur dari ibukota, hingga kejatuhannya tinggal menanti waktu. Pol Pot, Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Samphan pimpin rezim baru. Pol Pot jadi yang paling berkuasa karena menggenggam kedudukan sebagai Pertama Menteri sekalian Ketua Politbiro dan Komite Sentra CPK. Mereka mengganti nama negara jadi Kampuchea (per 1976 jadi Democratic Kampuchea), nama yang lebih dicintai kelompok komunis daripada “Cambodia” (Kamboja).

Setelah itu apa yang para sejarawan sebutkan sebagai “eksperimen sosial” yang radikal. Warga Kampuchea diisolasi dari semua dampak asing. Rakyat kota diungsikan semua ke tempat perdesaan. Bank dihentikan operasinya. Sekolah, rumah sakit, dan beberapa pabrik ditutup.

Seperti rezim mengatakan negara akan mengawali “Tahun 0”, Pol Pot ingin warga Kampuchea “tercipta kembali” lewat kolektivisme dan swasembada absolut. Dia yakin peraturan itu akan ikut menggairahkan daya produksi kerajinan dan kekuatan industri negara di masa datang.

Pertama kali rezim Khmer Merah jalankan penyelamatan warga kota Phnom Penh ke daerah pedesaan. Mereka dipaksakan tinggalkan karier lama untuk terjun buka tempat persawahan dan mengurus dan memetik padi. Terkecuali yang punyai kekuatan tehnis, mereka dibawa kembali lagi ke kota untuk jalankan beberapa pabrik. Di titik ini genosida sebetulnya telah berjalan. Long march yang dijalani beberapa ribu masyarakat kota ke wilayah tepian membunuh anak-anak, orangtua, dan orang sakit. Mereka yang pada akhirnya sampai di lokasi juga mendapatkan siksaan sama karena tiap hari dipaksakan kerja dalam waktu lama dan pada keadaan yang mengenaskan. Istirahat dan makan ialah dua hal yang bernilai sangat mahal. Banyak yang pada akhirnya meregang nyawa karena tenaganya habis, kelaparan kronis, atau didera penyakit membahayakan seperti malaria. Beberapa karyawan akan dilakukan bila usaha lari dari komune-komune. Pelanggaran ketentuan, walau yang remeh, akan diganjar resiko berat. Pelanggar umumnya akan dipisah sembunyi-sembunyi dari karyawan lain, dibawa ke rimba atau persawahan terasing sesudah matahari tenggelam, lalu dilakukan mati.

Ada beberapa versus berkenaan keseluruhan korban jiwa karena genosida sepanjang kekuasaan Khmer Merah. The Cambodian Genocide Porgram di Yale University, misalkan, memprediksi korban kematian capai 1,tujuh juta jiwa atau sekitaran 21 % dari keseluruhan komunitas Kamboja pada tengah 1970-an. Interograsi PBB menyebutkan prediksi yang semakin tinggi: di antara 2-3 juta. Dalam pada itu beberapa periset mandiri menyebutkan 1,17-3,45 juta jiwa. Bila menggunakan angka rerata, korban kematian Khmer Merah sering diperlihatkan di angka dua juta. Separuhnya karena eksekusi. Bekasnya karena kelaparan atau penyakit. Eksperimen sosial rezim kejam Khmer Merah digerakkan dengan demikian autokratis, xenofobik, paranoid, dan represif. Sejarawan melihatnya sebagai jalan bunuh diri. Realitanya, Democratic Kampuchea hanya bertahan sepanjang 4 tahun.