Genosida di Rwanda 13 tahun kemudian ialah yg paling efisien yg pernah dilakukan. mirip yang dilaporkan koresponden Bob Simon, 800.000 orang dibantai hanya pada 100 hari.
Suku minoritas Rwanda hampir hancur. Mereka yang berhasil bertahan melakukannya dengan kombinasi keberanian, kelicikan, serta keberuntungan yg udik.
Seorang perempuan belia berpendidikan perguruan tinggi berasal desa terpencil menceritakan 60 Minutes kisah penyintasnya yang luar biasa serta menginspirasi pada tahun 2006.
Immaculee Illibagiza memberi tahu Simon bahwa dia akhirnya berbicara menggunakan harapan mencegah kekejaman lebih lanjut, tidak hanya pada Rwanda, tetapi di Darfur serta kawasan-tempat lain pada mana pembantaian membayangi pada cakrawala.
Uwamwezi, sekarang 46, selamat. dalam keputusasaan, dia melemparkan gendongan bayinya ke danau sehabis anak-anaknya tenggelam. Para penyerang Hutu mengambilnya sbobet serta kemudian memperkosanya berulang kali, mengatakan kepadanya bahwa beliau harus melahirkan anak-anak Hutu buat menggantikan anak-anak Tutsi yang baru saja mereka bunuh.
Uwamwezi jua kehilangan suami serta rumahnya selama hari-hari itu. dia tidak pernah menikah lagi atau memiliki anak lain. selesainya training rekonsiliasi yang disediakan pemerintah, beliau sudah memaafkan para penyerangnya.
“Jika Anda memiliki dendam pada hati, Anda tak akan pernah mampu hayati baik dengan tetangga Anda,” katanya.
Serta mereka melakukannya. Hari ini, Tutsi serta Hutu, yg pernah berada di sisi yg antagonis berasal pembunuhan massal, tinggal di lingkungan yg sama pada negara pada mana perawatan kesehatan disediakan, jalan-jalan higienis dan pemerintah mendesak orang buat melupakan perbedaan etnis serta menduga diri mereka orang Rwanda.
Pada tanggal 7 April, rakyat Rwanda memperingati genosida yang menewaskan ratusan ribu orang, dengan upacara bertema “Never Again.” Pencegahan genosida juga akan disorot.
PBB mengadakan peringatan tahunan. semenjak Rwanda, pembunuhan massal telah terjadi pada Bosnia, Sudan, serta Myanmar.
Kekerasan Rwanda mengadu minoritas Tutsi, yang secara tradisional adalah kelas kaya, melawan mayoritas Hutu, yang cenderung kelas menengah dan bawah. Selama beberapa generasi, perbedaan itu lebih bersifat ekonomi daripada etnis.
Di tahun 1935, penjajah Belgia memperkuat disparitas dengan mengamanatkan kartu identitas terpisah buat Tutsi dan Hutu. disparitas ekonomi serta status sosial memicu kemarahan serta perpecahan.
3 tahun perang saudara mendahului genosida. Gerakan pemberontak Front Patriotik Rwanda dipimpin oleh orang Tutsi yang selama bertahun-tahun hayati menjadi pengungsi pada negara tetangga Uganda.
Dorongan mereka buat merebut kembali wilayah pada negara dari mereka dilihat oleh beberapa orang sebagai faktor yang memberatkan yang menyebabkan pembantaian massal. Perang jua membawa sejumlah besar senjata ke negara itu.
Komentar Terbaru